Migran dan Eksil dalam Berita

BBC News Indonesia: 20 Maret 2025

Pemerintah Indonesia akan cabut moratorium pengiriman pekerja migran ke Arab Saudi, apa yang harus dilakukan?

Moratorium PMI Saudi Arabia

Berita ini akan saya tulis kembali dalam empat bagian: 1. Latar Belakang; 2. Isu-isu penting pencabutan moratorium; 3. Sistem Data Pekerja Migan Indonesia, dan 4. Tata Kelola Pengiriman PMI ke KSA.

  1. Latar Belakang

    *Tahun ini direncanakan pencabutan morotarium

    *Kuota PMI yang tersedia: 600.000 pekerja

    **400k ART dan 200k sektor formal

    *Gaji sekitar Rp6,5 juta per bulan+bonus Umroh

    *Ekspektasi remitensi Rp31 triliun

    +MOU akan ditandatangi Maret 2025

    *Kenapa ada Moratorium?

    **

  2. Pencabutan Mortorium

  3. SIM PMI

  4. Tata Kelola Pengiriman PMI ke KSA/Timteng

'2. MORATORIUM TAHUN 2015

  • SK KEPNAKER NO. 260/2015 TNTNG Penghentian dan Pelarangan Penempatan TKI pada Pengguna Perseorangan di negara-negara Kawasan Timur Tengah.

  • .Kasus kekerasan, pelecehan, kondisi kerja dan gaji yang buruk tidak manusiawi.

  • Pada 1999, Siti Zainab binti Duhri Rupa asal Bangkalan Madura dituduh membunuh majikannya. Pengadilan menjatuhkan vonis hukuman mati pada 2001 dan dia dieksekusi pada 2015.

  • .Pada 2012, Karni binti Medi Tarsim, asal Brebes Jawa Tengah divonis hukuman mati atas kasus pembunuhan anak majikannya. Eksekusi mati dilakukan pada 2015.

  • Pada 2018, pemerintah Arab Saudi mengeksekusi hukuman mati buruh migran Indonesia, Tuti Tursilawati. Eksekusi dilakukan tanpa pemberitahuan resmi kepada pemerintah Indonesia. Tuti didakwa membunuh majikannya, Suud Malhaq Al Utibi.

  • Berdasarkan catatan Migrant Care, pemerintah Arab Saudi sudah mengeksekusi tiga buruh migran lainnya tanpa pemberitahuan ke pemerintah Indonesia.

  • Yanti Irianti, buruh migran asal Cianjur, Jawa Barat, dihukum mati pada medio Januari 2018.

  • Pada Maret 2018, buruh migran asal Jawa Timur bernama Muhammad Zaini Misrin dieksekusi mati di Arab Saudi. Zaini diadili karena dituduh membunuh majikannya pada 2004.

  • Pada medio Juni 2011, Ruyati, buruh migran asal Sukatani, Bekasi juga dieksekusi. Dalam persidangan, Ruyati mengaku membunuh karena sering menerima perlakuan tidak menyenangkan dari majikannya.

    '3. Kontinjensi Pencabutan Moratorium

  • Kehadiran pemerintah sebelum perekrutan dilakukan.

    Keserius menerapkan UU PPMI Tahun 2017

    Tingkat Kabko dan Desa

    Informasi

    Ketrampilan

    Tes Psikologi.

.'4. SISTEM DATA

Pada 2022, pemerintah meluncurkan aplikasi bernama Sistem Komputerisasi untuk Pelayanan Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (SISKOP2MI) untuk orang-orang yang berminat untuk jadi pekerja migran.

Sistem ini mengintegrasikan akses ke lowongan kerja, pendaftaran dan seleksi, hingga perlindungan untuk calon pekerja migran.

Sistem ini, menurut Menteri Abdul Kadir Karding, akan diintegrasikan dengan layanan Musaned yang mempertemukan para pencari pekerja dengan perusahaan atau individu yang membutuhkan pekerja.

Abdul Kadir Karding menyebut ada 25.000 pekerja migran setiap tahunnya yang masuk secara tidak prosedural ke Arab Saudi setelah moratorium diberlakukan pada 2015.

Untuk mencegah hal itu, menurut Karding, perbaikan tata kelola secara umum integrasi data telah dilakukan.

"Majikan yang mau ambil pekerja harus daftar di Musaned. Mereka harus punya deposit untuk gaji," ujar Karding.

Pemerintah Arab Saudi meluncurkan platform Musaned di bawah Kementerian Sumber Daya Manusia dan Pembangunan Sosial pada 2016.

"Jadi [buruh migran] yang unprocedural akan masuk [didata] dan dikontrol bersama," tutur Karding.

Mengutip pemberitaan media propemerintah Saudi Gazzette, pada awal bulan Maret 2025, platform ini telah mencatatkan 852.660 kontrak baru dan 1.214.259 CV pekerja. Jumlah entitas bisnis yang berinteraksi di platform ini telah mencapai 4.048.420 pengguna. Platform ini juga memungkinkan para pekerja domestik untuk berganti majikan tanpa persetujuan majikan sebelumnya.

Pada 2021, Arab Saudi memperkenalkan reformasi ketenagakerjaan yang mengendorkan restriksi bagi para pekerja migran dan memungkinkan pekerja mengganti pekerjaan tanpa persetujuan dari pemberi kerja sebelumnya.

Tapi organisasi pengamat hak asasi manusia Human Right Watch menilai ikhtiar tersebut belum dapat mengenyahkan praktik sistem kafala yang menurut mereka memberikan kekuasaan berlebih kepada majikan terhadap status hukum dan mobilitas para pekerja.

Apakah sistem tata kelola pengiriman tenaga kerja ke Saudi sudah berjalan baik?

Pada 2023, pemerintah mulai menguji coba layanan satu pintu Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) sebagai bagian dari upaya memperbaiki tata kelola pengiriman pekerja migran ke Arab Saudi.

Namun, menurut Roland Kamal dari Serikat Buruh Migran Indonesia di Jeddah, uji coba tersebut tidak membawa perubahan. "Yang kami soroti di sini, selama enam bulan [terakhir] pengiriman tenaga kerja Indonesia menggunakan SPSK ternyata tidak ada perbaikan," ungkapnya.

Kebanyakan tenaga kerja migran yang memanfaatkan jalur SPSK kabur dari majikan, kata Roland.

"Antara beban kerja dengan gaji itu tidak sesuai. Orang sini [majikan] bayar 3.200 [riyal] per bulan, yang diterima tenaga kerja cuma 1.200 [riyal]."

Dari sedemikian banyak kasus, yang melapor melalui kanal resmi hanya sedikit, "Yang lapor hanya satu, yang secara prosedural."

Savitri Wisnu Wardhani dari Jaringan Buruh Migran juga menyebut evaluasi sistem SPSK tidak transparan dan minim partisipasi.

"Sampai sekarang belum ada evaluasi publik yang melibatkan pekerja migran atau organisasi pekerja migran," kata Savitri.

Dari hasil pemantauannya, sistem ini malah disalahgunakan agen-agen pengirim tenaga kerja. "Agen yang menyalahgunakan juga tidak diberikan sanksi," klaimnya.

Jaringan Buruh Migran juga mengeklaim terdapat sejumlah kasus trafficking dari Jawa Barat ke Timur Tengah. "Karena mereka pikir jalur tersebut sudah dibuka," kata Savitri.

Selain minimnya transparansi dan partisipasi publik dalam evaluasi moratorium, Savitri juga menyebut prioritas pemerintah seharusnya menyiapkan sistem perlindungan untuk pekerja migran.

"Bagi kami, baik ditutup maupun dibukanya [moratorium] tanpa adanya jaring pengaman perlindungan bagi pekerja migran yang berbasis HAM dan responsif gender ya sama saja. Tetap akan menambah kasus-kasus eksploitasi bagi pekerja migran," papar Savitri.